TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG FITRAH MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk
terbaik yang diciptakan Allah di alam ini. Struktur manusia terdiri atas unsur
jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (psikologis). Dalam struktur jasmaniah dan
rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki
kecenderungan berkembang. Dalam pandangan
Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut fitrah. Kata ini mengandung
sejumlah pengertian ditinjau dari berbagai sudut pandang oleh para pemikir
muslim. Sebagian mereka mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa
manusia semenjak di dalam rahim ketika mengikat perjanjian dengan Tuhan,
sebagian lainnya mengartikan sebagai kemampuan-kemampuan jasmaniah dan
rohaniah. Walaupun demikian perbedaan tersebut menuju kepada satu tujuan yaitu
menciptakan seorang muslim yang mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai
‘abd maupun sebagai khalifah di muka bumi. Selanjutnya makalah ini mencoba
menguraikan pokok-pokok penting berkenaan dengan fitrah manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian atau hakikat dari fitrah
manusia?
2. Bagaimanakah konsep dari aliran pendidikan
islam dalam perspektif fitrah (fatalis, netral, positif, dualis)?
3. Bagaimanakah implikasi pengembangan fitrah manusia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Fitrah Manusia
Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding
dengan makhluk Allah lainnya terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa,
kata fitrah berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti menjadikan. Kata tersebut
berasal dari akar kata al-fathr ( الفطر ) yang berarti belahan atau pecahan.
Selanjutnya bila makna kata fitrah dikaitkan pada manusia dapat dipahami dengan
merujuk firman Allah surat al-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
"Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui".
Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai
potensi manusia untuk beragama (tauhid ila Allah). Fitrah diartikan sebagai kemampuan dasar untuk
berkembang dalam pola dasar keislaman (fitrah islamiah) karena faktor kelemahan
diri manusia sebagai ciptaan tuhan yang berkecenderungan asli untuk berserah
diri kepada kekuatan-Nya.[1] Di
pihak lain, ada juga yang memaknai fitrah sebagai iman bawaan yang telah
diberikan Allah sejak manusia dalam alam rahim. Pendapat ini merujuk pada QS.
al-A’raf, 7: 172 di bawah ini:
“Dan
ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman bukankah Aku ini
Tuhanmu? Mereka menjawab: betul engkau Tuhan kami, kamu menjadi saksi. Kami
melakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya
kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (Keesaan Tuhan)”.
Secara lebih komprehensif, Muhammad bin Asyur,
seperti dikutip Quraish Shihab mendefinisikan fitrah sebagai berikut: “Fitrah
(makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap
makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan
dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan
dengan kemampuan jasmani dan akalnya”.[2]
Dalam batasan ini terlihat term fitrah diartikan sebagai potensi
jasmaniah dan akal yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi
tersebut, manusia mampu melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh Allah
kepadanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami
bahwa fitrah merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah
kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan
hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk
terbaik yang diciptakan oleh Allah SWT.
Dari definisi para ahli tentang fitrah manusia, secara eksplisit
pada hakekatnya saling melengkapi antara satu batasan dengan batasan yang
lainnya. Pengertian yang lebih luas dari fitrah, yaitu pada pengertian potensi
dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Namun demikian, potensi tersebut hanya
merupakan embrio yang masih bersifat pasif dari semua kemampuan manusia. Ia
memerlukan penempaan lebih lanjut dari lingkungannya baik insani
maupun non insani sehingga ia mampu berkembang. Artinya, untuk mengaktifkan dan
mengaktualkan potensi tersebut, manusia memerlukan bantuan orang lain dan
hidayah Tuhannya. Tanpa adanya bantuan untuk mengaktifkan potensi itu, manusia
tidak akan dapat menjalankan dan melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai wakil
Allah SWT di muka bumi.
Rujukan di atas memberikan pengertian, bahwa lingkungan sebagai
faktor eksternal, ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah
seorang anak. Semakin baik pembinaan fitrah yang dimiliki
manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya,
bila pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada fitrah-Nya, maka manusia akan
tergelincir dari tujuan hidupnya.
B.
Konsep Aliran Pendidikan Islam dalam Perspektif Fitrah
Pehahaman terhadap konsep fitrah dapat dibedakan menjadi
empat aliran, yaitu aliran fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif dan
dualis-aktif.
1.
Fatalis-pasif
Pandangan pertama yaitu
fatalis pasif dengan tokoh Ibn Mubarok, Syekh Abdul Qadir Jailani dan
Al-Azhari. Mereka mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah
adalah baik atau jahat secara asal, baik terjadi secara semuanya atau sebagian
sesuai rencana Tuhan.[3] Setiap
individu telah terikat dengan ketetapan Allah, sehingga faktor-faktor eksternal
seperti pendidikan dan lingkungan tidak memiliki pengaruh terhadap penentuan nasib
dan pembentukan kepribadian. Karena segala yang dimiliki oleh manusia telah
ditentukan terlebih dahulu oleh Allah sebelum manusia itu lahir ke dunia. Lingkungan dan pendidikan tidak memiliki pengaruh apapun terhadap pembentukan kepribadian
manusia. Adanya pendidikan atau tidak sama sekali tidak ada pengaruhnya tehadap
baik-buruknya manusia. Manusia menjadi pintar atau bodoh, iman atau kufur
adalah berdasarkan takdir Allah. Seorang individu terikat oleh kehendak Allah
untuk menjalani ‘cetak biru’ kehidupannya yang telah ditetapkan baginya sebelumnya.
Dasar
yang digunakan oleh tokoh-tokoh ini adalah hadis Nabi SAW dari Abdullah Ibnu
mas’ud berkata, Rasulullah bersabda tentang firman Allah “dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi
mereka” bahwa ketika Allah mengeluarkan Adam dari surga dan sebelum turun dari langit, Allah
mengusap sulbi Adam sebelah kanan dengan sekali ucapan, lalu mengeluarkan
darinya keturunan yang berwarna putih seperti mutiara dan seperti dzur
(keturunan). Allah berfirman kepada mereka, “Masuklah
ke dalam surga dengan nikmay-Ku”. Lalu allah mengusap sulbi Adam yang
sebelah kiri dengan sekali usapan, lalu mengeluarkan anak keturunannya yang
berwarna hitam dengan bentuk dzur. Allah berfirman, “Masukklah ke dalam neraka dan aku tidak peduli”. Yang demikian
itulah maksud Allah tentang golongan kanan dan kiri. Kemudian Allah mengambil
kesaksian terhadap mereka dengan berfirman, “
bukankah Aku ini Tuhan kalian?” mereka menjawab “betul, Engkau Tuhan kami, kami
menjadi saksi”.
2.
Netral-pasif
Tokoh
dari aliran ini yaitu Ibnu Abd al-Barr. Penganut pandangan ini berpendapat
bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu keadaan kosong sebagaimana
adanyan, tanpa kesadaran akan iman atau kufur.[4]
Mereka semua terlahir dalam keadaan utuh dan sempurna, tapi kosong dari suatu
esensi yang baik atau jahat. Ini sama dengan teori John Lock “Tabularasa” yang
menyatakan bahwa manusia itu terlahir seperti kertas putih tanpa ada sedikitpun
goresan. Manusia akan mengetahui mana yang benar dan salah, baik dan jahat,
indah dan buruk itu dari lingkunagan eksternal. Manusia berpotensi menjadi baik bila rangtuanya
mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, sebaliknya manusia akan menjadi
buruk ketika orangtuanya mengabaikan nilai-nilai kebenaran dan justru
mengajarkan keburukan dan kejahatan.
Prinsip dari pandangan ini adalah bahwa mana yang lebih
dominan dan intensif mempengaruhi manusia, hal itulah yang akan membentuk
kepribadiaanya, apakah ia cerdas atau bodoh, kreatif atau jumud, dan lain
sebagainya.[5]
Menurut pandangan netral, kebaikan yang akan mengarah
pada iman atau keburukan yang akan mengarah pada kufur itu hanya akan berwujud
ketika anak tersebut telah mencapai pada kedewasaan. Karena setelah anak
mencapai kedewasaan, seseorang akan memiliki rasa tanggung jawab atas perbuatannya.
Dasar argumen aliran kedua ini adalah Q.S an-Nahl, 16; 78.
3.
Positif-aktif
Tokoh dari aliran ini
yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziah, Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mufti
Muhammad Syafi’i, Ismail Rajial-Faruqi, Mohamad Asad, Syah Waliyullah. Penganut
aliran ini berpendapat bahwa bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah
baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidental.[6] Semua anak lahir
dalam keadaan fitrah, yaitu dalam keadaan kebajikan, dan lingkungan sosial
itulah yang menyebabkan individu menyimpang dari keadaan ini.
Ibnu taimiyah
memberikan tanggapan atas pandangan Ibnu Abd al-Barr dan mengaskan bahwa fitrah
bukanlah semata-mata sebagai potensi pasif yang harus dibentuk dari luar,
tetapi merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri yang ada dalam
individu tersebut. Ash-Shabuni berpendapat bahwa kebaikan dan kesucian menyatu
dalam diri manusia, sedangkan kejahatan itu bersifat aksidental. Secara alamiah
manusia cenderung pada kebaikan dan kesucian. Tetapi lingkungan sosial terutama
orangtua, bisa merusak fitrah anak. Al-faruqi menilai bahwa pengetahuan dan
kepatuhan bawaan kepada Allah bersifat alamiah, sementara kedurhakaan tidak
bersifat alamiah.[7]
Implikasi
pengembangannya bahwa pendidikan
dapat dijadikan sebagai solusi dari pengaruh lingkungan yang buruk itu dan
memperkuat eksistensi fitrah manusia sebagai khalifah.
Dasar argumen
pandangan ini adalah Q.S ar-ruum, 30: 30 dan Q.S al-A’raaf, 7: 172.
4.
Dualis-aktif
Tokoh dari aliran ini
adalah Sayyid Quthb, al-Jamaly dan ‘Ali shari’ati. Aliran ini berpendapat bahwa
manusia diciptakan membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Disatu sisi
mengarah pada kebaikan dan disisi yang lain cenderung pada kejahatan. Menurut
Quthb, dua unsur pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh, yaitu
ruh dan tanah, mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan
yang setara pada manusia, yaitu kecenderungan mengikuti tuhan atau
kecenderungan untuk tersesat.[8]
Manusia merupakan
makhluk berdimensi ganda, dengan sifat dasar ganda yang keduanya saling
berlawanan. Al-jamaly mengatakan bahwa fitrah adalah kemampuan-kemampuan dasar
dan kecenderungan-kecenderungan yang murni bagi setiap individu yang kemudian
saling mempengaruhi dengan lingkungan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi
lebih baik atau lebih buruk.
Implikasi pengembangannya bahwa pendidikan bisa memperbaiki manusia dan menumbuh
kembangkan potensi baik dalam diri manusia.
Dasar argumen aliran
ini adalah QS. Al-Hijr, 15: 28, QS. Al-Balad, 90: 10 dan QS. al-Syams, 91: 7-10
C.
Implikasi
Pengembangan Fitrah Manusia
Dalam
rangka mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani maupun
rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Hal ini berarti
bahwa pendidikan merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan fitrah manusia
tersebut. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya,
mentransfer kebudayaannya dari suatu komunitas kepada komunitas lainnya,
mengetahui nilai baik dan buruk, dan lain sebagainya.
Merujuk
kepada makna manusia yang ditunjukkan oleh Allah dalam al-Quran, secara teknis
upaya pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan dengan cara memformat
interaksi pendidikan yang proporsional dan ideal. Dalam hal ini setidaknya ada
dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
Pertama, pendekatan perkata. Ketika Allah menggunakan terma al-basyar dalam menunjuk manusia sebagai makhluk biologis, maka interaksi pendidikan yang ditawarkan harus pula mampu menyentuh perkembangan potensi biologis (fisik) peserta didik. Ketika Allah menggunakan terma al-insan, maka interaksi pendidikan harus pula mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik. Demikian pula ketika Allah menggunakan terma al-nas, maka interaksi pendidikan harus pula mampu menyentuh aspek kehidupan sosial peserta didik. Ketiga terma tersebut harus diformulasikan secara integral dan harmonis dalam setiap interaksi pendidikan yang ditawarkan.
Pertama, pendekatan perkata. Ketika Allah menggunakan terma al-basyar dalam menunjuk manusia sebagai makhluk biologis, maka interaksi pendidikan yang ditawarkan harus pula mampu menyentuh perkembangan potensi biologis (fisik) peserta didik. Ketika Allah menggunakan terma al-insan, maka interaksi pendidikan harus pula mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik. Demikian pula ketika Allah menggunakan terma al-nas, maka interaksi pendidikan harus pula mampu menyentuh aspek kehidupan sosial peserta didik. Ketiga terma tersebut harus diformulasikan secara integral dan harmonis dalam setiap interaksi pendidikan yang ditawarkan.
Kedua,
pendekatan makna substansial. Ketika Allah menunjuk ketiga terma tersebut dalam
memaknai manusia, Allah SWT secara implisit telah melakukan serangkaian
interaksi edukatif pada manusia secara proporsional. Allah telah memberikan
kelebihan pada manusia dengan berbagai potensinya yang bersifat dinamis, di
samping berbagai kelemahan dan keterbatasan manusia dalam menjalankan
kehidupannya di muka bumi. Dengan berbagai potensi tersebut, manusia lebih
unggul dan sempurna sesuai dengan tujuan penciptaannya, dibanding dengan
makhluk Allah yang lain. Di sisi lain, manusia bisa juga menjadi makhluk yang
paling hina, tatkala seluruh potensi tersebut tak mampu diaktualkan dan diarahkan
secara maksimal, sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam posisi ini,
Allah telah memberikan kebebasan pada manusia untuk mengembangkan seluruh
potensi yang dimilikinya secara maksimal. Hanya saja, jika mereka ingin tetap
dalam keridhaan-Nya, maka mereka dituntut untuk mempergunakan seluruh
potensinya tersebut sesuai dengan batas-batas kapasitas kebebasan yang
diberikan padanya. Untuk itu, Allah memberikan rambu-rambu dan berbagai
konsekuensi atas aktivitas yang dilakukan manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
struktur jasmaniah dan rohaniah manusia, Allah
memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang. Dalam
pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut fitrah. Pehahaman terhadap konsep fitrah itu terdapat empat
aliran yang memiliki pandangan berbeda-beda dalam memahami fitrah, yaitu aliran
fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif dan dualis-aktif.
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam,
manusia dipandang sebagai makhluk yang menyimpan multipotensi, baik yang
bersifat jasadiah (fisik) maupun rohaniah (psikis). Menurut aliran fatalis,
segala potensi yang ada pada manusia telah menjadi ketetapan Allah dan tidak
dapat dirubah sedikitpun. Namun bagi
aliran yang lain, keseluruhan potensi
tersebut tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, ia membutuhkan sarana yang efektif untuk
mengembangkannya sehingga dapat memberikan manfaat terhadap dirinya dan juga
lingkungan sekitarnya. Sarana tersebut
adalah proses pendidikan yang juga mesti ditujukan untuk mengoptimalkan segenap
potensi manusia tersebut dalam sebuah interaksi pembelajaran dengan tetap
berpegang pada nilai-nilai Ilahiah. Upaya
pengembangan fitrah merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan. Jika tidak,
maka keunggulan dan kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah SWT tidak akan
berarti apa-apa dibandingkan dengan makhluk lainnya di bumi. Potensi yang tidak
teroptimalkan akan menghalangi manusia untuk melakukan tugas dan fungsinya
sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Ironisnya lagi bahkan manusia
itu dapat terjerumus ke dalam jurang kesesatan yang
hina.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara
Maragustam. 2010. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan
Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam). Yogyakarta: Nuha Litera
Nashori, Fuad. 2003. Potensi-Potensi Manusia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
http:// hakikat-fitrah-manusia.html
[1]
M. Arifin, Filasafat Pendidkan
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), Hlm. 160
[3]
Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 55
[5]
Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi
Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hlm. 94
[6]
Ibid, Maragustam, Mencetak Pembelajar..., hlm.
94
[7]
Opcit, fuad Hasan, Potensi-Potensi
Manusia..., Hlm 61
[8]
Ibid, Fuad Hasan, Potensi-Potensi
Manusia..., Hlm. 62
0 komentar:
Posting Komentar