RADIKALISME AGAMA
Radikalisme agama menjadi pembicaraan
yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini। Bentuk-bentuk
radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme
memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam
hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, “Siapa pun
perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran
suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok.
Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang
penuh toleran”.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal
dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan
prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu
konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan
politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya
peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan
sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah
suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan
ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme
/fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa
radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya
untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang
ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat
saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam
antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di
satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya
pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu
dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian
dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal
dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan
fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan
dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke
akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan
dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari
suatu ajaran.
Ada
beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara
lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang
dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik
dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan
tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan
orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa
munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan
sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami
kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan
satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat
faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal,
misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota
masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.
Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Di dalam Hindu
munculnya radikalisme tampak sebagai respon ketika Mogul Emperor
menaklukkan India, di samping juga ketika penjajahan Inggris menguasai
India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke Kristen yang dilakukan
oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan
radikal adalah munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan
sebagainya. Di samping gerakan yang bersifat radikal, sesuai dengan
karakter pemimpinnya muncul usaha untuk mengantisipasi gerakan konversi
dengan lahirnya organisasi keagamaan yang satu di antaranya populer
sampai saat ini adalah Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang
didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang
tersebar di seluruh pelosok India. Svami Dayananda Sarasvati di kalangan
umat Hindu dipahami juga sebagai seorang yang radikal, karena
mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum Paria yang menurut
Mahatma Gandhi disebut Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan) dan
sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu dan bagi mereka yang
mau mempelajari kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti
Agnihotra) diinisiasi menjadi Brahmana (dengan memberi kalungan benang
Upavita). Svami Dayananda Sarasvati melakukan terobosan dengan
mengembalikan kepada ajaran suci Veda tentang penggolongan masyarakat
atas tugas dan kewajibannya yang disebut varna (pilihan profesi) dan
bukan istilah kasta sebagai bentuk penyimpangan varna tersebut.
Pembagian masyarakat profesional (anatomi masyarakat) ini sifatnya abadi
dan tidak berdasarkan kelahiran atau diwariskan secara turun temurun,
melainkan atas dasar bakat (guna) dan pekerjaannya (karma). Tindakan
Svami Dayananda Sarasvati ini ditentang oleh kelompok ortodok yang hanya
berpegangan kepada tradisi dan bertentangan dengan kitab suci.
Radikalismenya Svami Dayananda Sarasvati tidak sampai berbentuk anarkis,
apalagi sampai mengarah kepada perbuatan teroris.
Tokoh radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat
radikal dalam tata pikir, namun santun dalam tindakan yang pemahamannya
terhadap agama Hindu sangat mendalam dan mampu merealisasikannya. Bahkan
R.C. Zaehner (1993:206) mempersamakan Gandhi dengan Yudhisthira. Dilema
Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira. Mahatma Gandhi sangat menekankan
Ahimsa (nir kekerasan). Tokoh-tokoh lainnya sebagai pembaharu Hindu
adalah Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain yang memberi pencerahan
tidak hanya kepada umat Hindu, tetapi juga umat manusia di seluruh
dunia.
Seperti telah
disebutkan di atas, beberapa pembaharu Hindu dipandang juga sebagai
seorang radikal dalam arti radikal dalam tata pikir dan lembut dalam
tata laku. Walaupun demikian, radikalisme yang berujung pada anarkisme
dan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu di India, yakni
terbunuhnya Mahatma Gandhi yang ditembak oleh orang dari kelompok
Rashtriya Sevayam Sevak (RSS), demikian pula ditembaknya Indira Gandhi
oleh pasukan pengawalnya dari pengikut Sikh, dan terakhir terbunuhnya
Rajiv Gandhi melalui bom bunuh diri yang diduga dari kelompok Tamil
Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu,
walaupun motivasinya tidak murni dan bahkan tidak terkait dengan ajaran
agama Hindu.
Pengertian
atau batasan tentang teror dan teroris diuraikan di dalam surat kabar
Kompas 15 Oktober 2002, tiga hari setelah bom Bali 1 (Wahid,
et.al.,2004:22) sebagai berikut.Kata ‘teroris’ (pelaku) dan ‘terorisme’
(aksi) berasal dari bahasa Latin ‘terrere’ yang berarti membuat gemetar
atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga berarti bisa menimbulkan kengerian.
Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya
istilah ‘terorisme’ merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang
sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan
penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Lebih jauh di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa,
Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan
maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan
membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan
orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap
objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, kebudayaan,
pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau
fasilitas internasional.
Terorisme di Indonesia sering dan selalu mengatas namakan agama seperti
pengakuan pelaku bom Bali 1 dan 2 yang sudah sangat banyak memakan
korban yang memilukan semua orang. Pandit Vamadeva Shastri (ketika belum
diinisiasi bernama Dr. David Frawley) seorang intelektual Hindu yang
bermukim di Amerika Serikat, dalam tulisannya Bagaimana Hindu Menjawab
Terorisme? Yoga, Ahimsa dan Serangan Teroris (2005: 52) menyatakan,
Jalan Ksatriya sebagaimana diamanatkan di dalam kitab suci Bhagavagita
yang mengajarkan aspek spiritual dari Yoga secara sangat rinci,
diajarkan di medan pertempuran, selama perang saudara. Sementara
beberapa orang akan mengatakan bahwa peperangan luar ini (peperangan
jasmani, outer battle) adalah sebuah metaphora bagi satu perjuangan di
dalam (pergulatan batin), yang benar bahwa peperangan luar juga
sungguh-sungguh terjadi adalah jelas dan banyak catatan bukti-bukti
sejarah India Kuno. Krishna, sang mahaguru Yoga mendorong muridnya
Arjuna, seorang pejuang besar untuk bertempur, sekali pun Arjuna enggan
dan ingin mengikuti jalan non kekerasan. Mengapa Krishna mendorong
Arjuna untuk bertempur? Ada dua hal yang utama dari Ahimsa di dalam
tradisi Yoga.Yang pertama adalah Ahimsa sebagai satu prinsip spiritual,
yang diikuti oleh para yogi, bikhu, sadhu, dan sannyasi yang meliputi
non kekerasan pada semua level. Yang kedua adalah Ahimsa sebagai salah
satu prinsip politik, Ahimsa dari para pejuang atau Ksatriya, yang
diikuti oleh mereka yang memerintah dan melindungi masyarakat, yang
diijinkan untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat di dunia ini, termasuk
melindungi orang-orang spiritual yang sering tidak dapat membela diri
mereka sendiri dan menjadi target manusia keduniawian. Krishna
menganjurkan Ksatriya Ahimsa ini kepada Arjuna bagi kepentingan generasi
yang akan datang, seperti Rishi Visvamitra yang mengajar Rama dan
Laksamana untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu
dan membunuh orang-orang spiritual. Hal ini merupakan tradisi India yang
sangat tua.
Lebih jauh
Pandit Vamadeva Shastri (2005:54) menambahkan, sementara sebuah jawaban
keras kepada terorisme mungkin perlu dalam jangka pendek, satu
reorientasi dharma yang lebih besar dari masyarakat kita adalah
satu-satunya solusi jangka panjang. Ini mensyaratkan tidak hanya
mengalahkan teroris, tetapi mengadopsi satu cara hidup yang lebih
bertanggung jawab dan kembali kepada kepada satu keselarasan yang lebih
besar dengan alam maupun kemanusiaan. Itu berarti menyelesaikan
masalah-masalah global yang lebih besar yang meliputi tidak hanya
terorisme dan fundamentalisme agama, tetapi kemiskinan, kekurangan
pendidikan, kelebihan penduduk, penghancuran lingkungan alam.
0 komentar:
Posting Komentar